• 0511-3354527
  • 0511-3364615
  • This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
  • Senin s/d Jumat 08.00 A.M - 16.30 P.M

KPK Tangkap Hakim PT TUN

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 

 

 

 

Banjarmasin| pt-banjarmasin.go.id

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkan seorang hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) berinisial Ib atau Ibrahim serta seorang pengacara berinisial AS karena mereka terlibat praktik suap. Keduanya juga langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Kepala Biro Humas KPK Johan Budi SP, di kantornya, kemarin, mengungkapkan, keduanya tertangkap setelah melakukan transaksi pengurusan perkara. Bersama mereka, penyidik juga menyita satu kantong plastik berisi uang senilai Rp 300 juta. "Tujuannya agar perkara yang sedang diproses itu dimenangkan," kata Johan mengungkapkan motif penyuapan itu.

Namun, Johan enggan mengungkapkan perkara yang hendak dibereskan AS melalui Ibrahim tersebut. "Keduanya sudah ditetapkan menjadi tersangka," kata Johan saat memberi keterangan pers perihal kasus tersebut.

Menurut dia, hakim Ibrahim akan dijerat dengan Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, AS dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 15 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU 20 Tahun 2001.

Johan mengatakan, kasus itu terungkap setelah KPK mendapat laporan dari masyarakat bahwa akan ada penyerahan uang terkait pengurusan perkara di PT TUN. "Kasusnya sudah diikuti sejak lama. Kasus ini, kita dapat laporan dari masyarakat, pekan lalu, akan ada penyerahan terkait pengurusan perkara di PT TUN. Kemudian, kita melakukan penyelidikan," ujar Johan.

Penyidik KPK sudah memantau gerak-gerik Ibrahim sejak pukul 09.00 WIB, kemarin. Mereka memantau dari Pasar Kembang, Cikini, yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari Gedung PT TUN, Jalan Cikini Raya. Saat Ibrahim dan AS meninggalkan kantor itu, penyidik KPK pun membuntutinya. Sang hakim dan sang pengacara itu menggunakan kendaraan yang berbeda. Ibrahim menggunakan Toyota Kijang Innova, sedangkan AS menggunakan Honda Jazz.

Mereka meluncur ke Pasar Pramuka, kemudian dilanjutkan ke Pasar Genjing serta Jalan Rawasari. Setelah itu, mereka mengarah ke Jalan Suprapto, terus ke Jalan Pangkalan Asem sebagai tempat transaksi.

Setelah keduanya memarkir mobilnya beriringan di pinggir kali jalan tersebut, AS keluar dari mobilnya ke mobil Ibrahim. Di dalam mobil itulah, AS menyerahkan uang Rp 300 juta dalam tas plastik hitam.

Namun, penyidik KPK tidak langsung menyergap mereka. Keduanya dibiarkan melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melintas di Jalan Mardani Raya depan Kompleks SMP Negeri 28, penyidik KPK pun menghentikan laju kendaraan tersebut.

Saat ditangkap, Ibrahim masih berusaha berkelit tentang hal ihwal uang tersebut. Setelah itu, mereka pun digiring ke kantor KPK. Selain uang, mobil serta telepon genggam mereka pun ikut disita penyidik KPK sebagai barang bukti.

Sebenarnya, Ibrahim dan AS akan dicokok pada Jumat (26/3). Saat itu, tim dari KPK sudah bergerak ke tempat pertemuan mereka di kawasan Blok M. (sumber : situs resmi Komisi Yudisial RI)

Namun, saat itu penyidik KPK baru menemukan si pemberi suap yang sudah berada di lokasi. Sedangkan Ibrahim yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, sampai akhirnya penyidik memperoleh kabar bahwa sang hakim membatalkan kedatangannya. Diduga informasi tentang rencana KPK menangkap keduanya saat itu sudah lebih dahulu diketahui. Namun, belum diketahui pasti siapa pembocor informasi tersebut, apakah orang luar atau orang dalam KPK.

Menanggapi penangkapan hakim Ibrahim tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengaku letih menjaga martabat dan perilaku hakim yang dilakukan bersama-sama dengan Komisi Yudisial selama ini. Keluhan tersebut disampaikan Juru Bicara MA Hatta Ali melalui pesan singkatnya kepada komisioner bidang hubungan antarlembaga Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto. "Pak Hatta Ali SMS mengeluh dan menyatakan sudah capek menjaga martabat dan perilaku hakim-hakim," kata Soekotjo saat ditemui Suara Karya sambil membacakan pernyataan Hatta Ali di kantornya.

Soekotjo juga menyatakan keprihatinannya atas peristiwa penangkapan Ibrahim. Pasalnya, upaya menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim yang selama ini digalakkan melalui fungsi pengawasan MA dan KY telah gagal. "Dalam situasi yang begitu gencarnya mengenai pemberantasan mafia peradilan, kok dia masih nekat. Tidak ada kapok-kapoknya. Upaya kita bersama-sama dengan MA ternyata tidak mempan. Kita betul-betul sangat prihatin," kata Soekotjo.

Untuk itu, Soekotjo mengusulkan adanya upaya pencegahan yang lebih baik dari sekarang daripada mengedepankan penindakan. "Kalau represif terus, maka tidak akan ada habisnya," ujar Soekotjo.

Soekotjo juga mengaku, pihaknya menerima kabar penangkapan hakim Ibrahim pertama kalinya dari MA. Hingga kemarin petang, Soekotjo mengaku bahwa KY sudah menerima pernyataan resmi penangkapan tersebut dari KPK.

Menurut Soekotjo, pelanggaran etika dan pedoman perilaku yang dilakukan hakim Ibrahim diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Jika terbukti menerima suap, maka secara otomatis hakim tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, sehingga harus dipecat. "Kalau cukup kuat, biar KPK saja yang menangani," ujar Soekotjo.

Soekotjo juga menegaskan akan mengikuti perkembangan penyidikan kasus Ibrahim di KPK. Sebab, memberantas mafia peradilan sudah menjadi komitmen bersama KY dan KPK.

Menurut dia, selama ini hakim di seluruh Indonesia sudah diberikan remunerasi berupa peningkatan kesejahteraan. Namun, ternyata remunerasi itu tidak menjamin para hakim tidak melakukan pelanggaran kode etik.